Sabtu, 09 November 2013

First Love in February


            Dua tahun telah berlalu namun takkan mampu menghapuskan memoriku tentang kamu. Tentang cinta kita yang sangat singkat. Masih kuingat pula wajah tampanmu dan senyummu yang selalu mewarnai hari – hariku. Dua tahun yang lalu, pada bulan Desember pertemuan pertamaku dengan dia. Saat itu kami bertemu di salah satu pusat perbelanjaan. Awalnya dia tak sengaja menjatuhkan barang belanjaanku. Lalu aku mengambilnya namun tak aku sangka dia juga menundukkan badan dan mengulurkan tangannya kepadaku. Dia tersenyum dan mengatakan “ maaf, aku tadi tidak sengaja”. Aku pun juga tersenyum dan mengatakan kalau aku memaafkannya. Semenjak kejadian itu, kami jadi sering berkomunikasi.
            Pada Januari aku mulai masuk sekolah dan menjalankan aktivitasku sebagai seorang pelajar. Tak ku sangka guruku memperkenalkan seorang murid baru dan dia ternyata…. Oh hatiku bergetar. Aku masih tak
percaya jika semua ini nyata. Dia tersenyum dan mengatakan “Aku disini, Arztin.” Aku menjawab “ Ya Arzt, Aku senang kau disini”.
            Semenjak dia ada disini, aku jadi semakin giat belajar. Kami memang bersaing di dalam kelas itu, namun kami saling memberi motivasi. Tak jarang kami menghabiskan waktu berdua untuk belajar bersama. Kami itu saling melengkapi. Aku pernah mendapat nilai yang sangat jelek, lalu aku diam maksudku untuk berintropeksi diri dan juga menghibur hati. Saat aku termenung di depan kelas, tiba – tiba dia datang dan menepuk bahuku. “ Sudahlah, ini belum berakhir. Jangan sedih ya, memangnya materi mana yang belum kamu pahami. Aku siap membantumu.” Aku menjawab “ Aku tidak apa – apa, makasih ya. Kamu memang baik.”
            Bulan Februari merupakan jadwal pertama kami untuk mengadakan praktikum biologi. Aku satu kelompok dengan dia. Namun dia yang menjadi ketua kelompoknya. Ada kejadian romantis di laboratorium biologi. Saat aku ingin mencoba melihat benda di mikroskop dia juga ternyata ingin melihat mikroskop tersebut. Alhasil kepala kami saling benturan. Kemudian kami lama saling tersenyum dan berpandangan. Temanku langsung menyoraki kami. Tak ku sangka dia berlutut dan mengatakan “ Arztin, Ich liebe dich, maukah kamu menjadi pacarku ?”. Dia memberi sekuntum mawar kepadaku. Seluruh teman satu kelasku bersorak agar aku menerimanya. Termasuk juga Bu Rini guru biologi. Aku tak tahu mengapa beliau tidak memarahi kami berdua waktu itu. Justru malah mendukung kami berdua. Dengan kalimat yang terbata – bata aku menjawab “ Iya, Aku mau.” Semenjak kami berpacaran, kami menjadi selalu bersama. Namun kami takkan lupa dengan mimpi kami masing – masing. Jadi ya kami saling memberi motivasi. Walaupun kami ini bersaing kami tak pernah bersikap saling memusuhi justru sebaliknya saling menyayangi.
            Hari – hariku menjadi lebih berwarna semenjak kehadirannya dalam hidupku. Sebelumnya aku tak pernah merasakan hal ini. Dia cinta pertamaku dan pacar pertamaku. Namun pada Juli dia mengatakan kepadaku jika dia akan pergi ke Jerman untuk mengikuti ayahnya yang bertugas disana. Aku tak mampu menahan air mataku. Dia datang menghapus air mataku dan mengatakan “ Sayang, aku juga tidak mau berpisah dengan kamu. Tapi aku juga tak mungkin hidup sendiri disini tanpa kedua orang tuaku. Aku langsung memeluknya dan mengatakan “ Aku cinta kamu dan aku takkan sangup kehilanganmu.” Dia berkata “ Aku takkan pergi dari hatimu dan kamu pun takkan pergi dari hatiku. Kamu cinta pertamaku dan Aku juga sangat mencintaimu.” Aku menjawab “ Tapi bagaimana dengan hubungan kita ?”
Dia menjawab “ Sayang percayalah, aku mencintaimu dan aku takkan mungkin berpaling. Kamu disini belajar yang rajin ya. Aku menunggumu di Jerman. Kamu jangan mudah down lagi. Ingat mimpimu dan mimpi kita berdua. Sudah jangan nangis, dasar cengeng.” Aku tertawa, aku tau dia berusaha menguatkan aku. Keesokan harinya aku mengantarkannya ke bandara. Dia kembali mengatakan “ Aku mencintaimu dan kamu harus bisa menyusulku ke Jerman jika kamu juga mencintaiku. “ Aku pun menjawab “ Aku juga mencintaimu dan suatu hari nanti aku akan menyusulmu ke Jerman. Kamu hati – hati ya, jaga selalu dirimu juga hatimu, Arzt.” Dia menjawab “ Ya, Arztin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar